Selasa, 07 Juni 2016

PRODUKSI DALAM BINGKAI BAROKAH !!!

BERKAH
Seiring perkembangan zaman masih terdapat anggapan bahwa Islam berkedudukan sebagai penghambat proses kemajuan. Paradigma tersebut lahir dari pemikir barat[1], namun hal ini tidak menjadi acuan bagi para intelektual muslim untuk meyakininya. Islam adalah agama yang sangat komprehensif dan universal[2], artinya Islam sebagai sistem yang mencakup seluruh aspek kehidupan (baik ibadah dan muamalah) dan berlaku untuk seluruh umat.

             Dalam kerangka muamalah lebih berfokus dengan kondisi sosial yang mana setiap kegiatan dihadapkan dengan tata cara berhubungan dengan manusia lain, terkhusus pada tulisan ini dalam melakukan kegiatan ekonomi di bidang produksi. Seorang Ahli bernama Kahf (1992) mendefinisikan kegiatan produksi dalam presepktif Islam sebagai usaha manusia untuk memperbaiki, tidak hanya kondisi fisik materiilnya, tetapi juga moralitas sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam Islam, yaitu kebahagian dunia dan akhirat.

            Produksi juga merupakan penyatuan alam dan manusia untuk mendapatkan output yang memiliki nilai tambah (Value Added). Idealnya, produksi yang dilakukan manusia dengan melibatkan alam harus menjadi concern untuk tetap ramah terhadap lingkungan (Environmental Friendly), Hal ini sejalan konsep Triple Bottom Line  yang mengukur Kesuksesan korporasi yang berfokus kepada 3P (Profit, Planet, People).

PRODUKSI


v 1. Profit
Keuntungan (Profit) adalah salah satu hal terpenting yang harus dicapai sebuah korporasi dalam memaksimalkan produktivitasnya. Dialog Seorang pengusaha dalam Seminarnya mengatakan "keuntungan bukan segala-galanya, tapi tanpa keuntungan perusahaan tidak bisa berkembang". Kutipan tersebut begitu ringkas menjelaskan keuntungan itu penting tetapi ada variabel lain yang harus diperhatikan demi menunjang korporasi tersebut mampu  bersaing jangka panjang (suistainable).

v 2. Planet (Environment)
Planet menjadi salah satu ukuran (Measurement) kesejahteraan korporasi bagaimana memperlakukan alam dengan berbagai kegiatan produksinya. Jikalau dibandingkan di Negara Maju, korporasi yang merusak lingkungan akibat produksi tidak akan diperbolehkan untuk beroperasi karena berakibat fatal terhadap lingkungan. 

v People (Stakeholder)
People juga salah satu indikator Korporasi dikatakan sukses karena menimbang perlakuan perusahaan terhadap stake holder[3] (pemangku kepentingan). Ketika korporasi memberikan kepedulian terhadap karyawan, masyarakat, maka stake holder pun akan berusaha melakukan yang terbaik akibat pengayoman dan perhatian yang menjadikan karyawan memperoleh kenyamanan. Maka akan terjadi titik dimana kepedulian perusahaan bertemu dengan kenyamanan stake holder, hal inilah yang menyebabkan perusahaan terus berkembang dan akan mencapai level of happiness (Kesejahteraan).
            
Isu yang kemudian hangat diperbincangkan adanya korporasi ataupun perusahaan yang kemudian bergerak dalam memproduksi berbagai komoditas dengan tidak mengacu kepada syariaT Islam dan hanya mementingkan individu (Self Interest). Penulis tidak bermaksud mengkritisi para stakeholder melainkan untuk mengkaji produksi dalam bingkai barokah, dengan upaya memitigasi kejadian yang hanya menguntungkan segelintir orang dan dalam waktu yang bersamaan merugikan banyak pihak dalam korporasi.

            Realita yang terjadi dalam korporasi tidak jarang ditemukan berproduksi dengan menghalalkan segala cara yang kemudian berimbas kepada khalayak ramai. Kesemuanya itu terjadi karena oknum yang tidak lagi memperhitungkan barokah dalam kegiatan produksinya. Permasalahan-permasalahan didasari oleh perilaku oknum yang hedonisme (hubbud dunya).

            Barokah secara terminologi diartiakan Ziyadatul khair[4], yakni “ bertambahnya kebaikan”. Ketika barokah dijadikan sebagai bingkai Korporasi untuk melakukan kegiatan produksi maka potensi yang menghancurkan dan merugikan banyak orang tentunya tidak akan terjadi karena Barokah telah menjadi koridor ataupun batasan produksi. Hal ini sejalan dengan Islamic Worldview yang termaktub dalam terjemahan “ Jika sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”(Surah Al-Araf :96). Dalam skema  produksi yang mendapatkan barokah yang dimaksud adalah, yakni:
1.    
1. Bahan Input adalah bahan yang digunakan dalam memproduksi terlepas dari Maysir, Gharar dan Riba, seperti illegal logging dalam pembuatan kertas.
2. .Aktivitas Produksi Adalah proses kegiatan yang produksi yang tidak merugikan orang lain dan lingkungan seperti dalam konsep Triple Bottom Line.
3.  Output (Barang dan Jasa) adalah hasil dari produksi yang tentunya bermanfaat untuk konsumen.


                Produksi dalam bingkai barokah merupakan stimulus untuk korporasi ataupun Individu yang akan melakukan kegiatan produksinya dengan pertimbangan Syariah Islam. Pemecahan permasalahan berbagai produksi yang berkutat pada harus untung perlu ditinjau ulang dalam pergeseran paradigma (Shifting Paradigm) dengan upaya maslahat dan kepentingan bersama untuk mencapai falah (kesejahteraan dunia dan akhirat).



    [1] Max Weber, The protestant Ethic and the sprit of capitalism (London: George Allen & unwin., 1976)
    [2] Muhammad Syafi’I Antonio, Islamic Banking dari teori ke praktik (Jakarta, 2001)
    [3] Stake holder (pemangku kepentingan) adalah orang yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung kepada korporasi, Dr Yodfiatfinda, 2013
    [4] Imam Al Ghazali, Ensiklopedia Tasawuf, hal 79.

    Jumat, 22 Januari 2016

    Optimalisasi Potensi Indonesia Dalam Industri Keuangan Syariah

    Mengkaji optimalisasi adalah pembahasan tentang tujuan ke arah yang lebih baik, demi pencapaian optimum potensi Indonesia dalam industri keuangan syariah. Ada beberapa catatan penting yang sesungguhnya Indonesia memiliki potensi lebih untuk meng-optimalisasi industri keuangan syariah. Pertama, penduduk Indonesia dengan mayoritas beragama Islam. Meskipun Industri keuangan syariah tidak dikhususkan bagi muslim, tetapi umat muslim tetap menjadi pasar utama bisnis dan keuangan syariah. Kedua, terkait bonus demografi[1] (usia produktif) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen[2]. Peningkatan kelompok ini didominasi oleh umat muslim dengan behaviour yang beragam, yang membuat bisnis dan keuangan syariah juga lebih beragam dan ketiga, memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.



    Ditinjau dari perkembangan industri keuangan syariah dalam cakupan perbankan termasuk dalam kategori perkembangan yang sangat pesat jikalau berkaca pada 10 tahun terakhir. Data OJK per Maret 2015, industri perbankan syariah terdiri atas 12 bank umum syariah dengan 22 unit usaha syariah yang dimiliki bank umum konvensional. Kemudian 163 BPRS dengan total aset Rp 264,81 triliun dan pangsa pasar 4,88 persen. Jumlah pelaku industri keuangan nonbank syariah ada 98 lembaga di luar LKM; terdiri atas usaha jasa takaful (asuransi syariah) yang mengelola aset senilai Rp 23,80 triliun, di samping usaha pembiayaan syariah yang mengelola aset senilai Rp 19,63 triliun serta lembaga keuangan syariah lainnya dengan aset Rp 12,86 triliun dan penghimpunan DPK perbankan syariah adalah sebesar Rp207,121 triliun.

    Pembahasan industri keuangan syariah tidak serta merta pada cakupan perbankan syariah, namun ada banyak industri keuangan di Indonesia yang berpotensi untuk dioptimalkan. Seperti Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yaitu asuransi syariah (takaful), koperasi syariah (BMT), dan Islamic microfinance, reksadana syariah (unit trust), lembaga pasar modal syariah dan juga surat hutang syariah (sukuk).  Tetapi pertumbuhan industri keuangan syariah di Indonesia masih berkutat di sektor perbankan. Adapun Potensi lainnya adalah pengembangan keuangan syariah melalui instrumen sukuk. Hal itu terbukti Pemerintah telah mengeluarkan sukuk beberapa tahun silam dengan nama Sukuk Ritel (SUKRI) RI, hasilnya cukup menggembirakan dan respon pasar disambut hangat dengan memborong sukuk ritel yang dijual 1 juta per lembar tersebut, kalangan pegawai termasuk PNS bahkan ibu rumah tangga membeli sukuk tersebut melalui bank-bank syariah sebagai agen penjual.


    Terkait pencapaian optimalisasi keuangan syariah di Indonesia perlu adanya regulasi yang memiliki perhatian khusus terkait pengoptimalan industri keuangan syariah. Lahirnya OJK juga dapat dipandang sebagai suatu peluang bagi sistem keuangan syariah untuk lebih dapat mengarahkan perkembangan industri keuangan syariah (Best Regulator in Promoting Islamic Finance). Peran OJK dan pelaku industri keuangan syariah dalam menjawab tantangan keuangan syariah diperlukan langkah strategis sebagai berikut: Pertama, OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi, juga mensupervisi kegiatan sektor keuangan, harus mampu membangun sinergi dan juga mengembangkan bisnis model yang mampu dilaksanakan di lapangan oleh pelaku sektor keuangan syariah di Indonesia. 

    Kedua, Permasalahan klasik yang kini masih dihadapi adalah tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Ekonomi Islam itu sendiri. Kurangnya sosialisai dan edukasi kepada masyarakat merupakan masalah klasik yang mendasar dan berpengaruh pada marketshare keuangan syariah, untuk itu perlu sosialisasi yang massif. Kita ketahui bahwa keuangan syariah adalah hal yang baru di Indonesia, dalam konteks keuangan modern saat ini, hanya sebagian kecil saja yang sudah memahami dan menyadari keuangan syariah. Banyak masyarakat beranggapan bunga dan bagi hasil sama saja atau sistem keuangan syariah sama dengan konvensional hanya ganti istilah saja. Hal ini tidak boleh dipungkiri sebagai hambatan dalam pertumbuhan bank syariah. Oleh karenanya, OJK dengan kekuatan dana yang ditopang oleh anggaran Negara melalui APBN harus menjadikan agenda sosialisasi sebagai program utama yang harus dijalankan. Sosialisasi bukan hanya di kampus atau di kota besar, tetapi juga harus dilakukan sampai kepada kalangan pegawai, buruh, tani, higga ke pelosok desa. JIka ini dilakukan secara efektif bisa dipastikan kesadaran masyarakat untuk bertransaksi sesuai syariah akan mendorong optimalisasi industri keuangan syariah di Indonesia.

    Ketiga, Membangun infrastruktur pendukung bagi kegiatan supervisi lintas sektoral. Peran OJK dalam membangun sistem pengawasan yang baik akan membantu membangun kepercayaan masyarakat pada sistem keuangan Indonesia, khususnya di industri keuangan syariah. Maka, kejadian buruk yang merugikan citra keuangan syariah, seperti investasi bodong berlabel syariah tidak akan terjadi lagi atau minimal berkurang bobot kualitas kejahatannya. Kejadian positif dari keuangan syariah secara tidak langsung akan mendorong masyarakat yang belum menggunakan jasa keuangan syariah menjadi tertarik dan ikut mencoba jasa keuangan syariah.


    Keempat, Mendorong kebijakan peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Insani. Permasalahan jasa keuangan syariah selama ini masih banyak diisi oleh para pelaku dari industri keuangan konvensional yang kebanyakan tidak memahami dan menguasai secara baik sistem keuangan syariah. Hal ini berdampak kepada kinerja SDI yang tidak mumpuni dan menimbulkan masyarakat kurang percaya terhadap industri keuangan syariah.

    Kelima, inovasi dalam pengembangan produk industri keuangan syariah, perlu adanya produk yang lebih inovatif untuk menunjang masyarakat agar tertarik dengan industri keuangan syariah, baik yang berkaitan dengan microfinance, Surat utang syariah maupun pasar modal syariah.
     


    [1] Rasio ketergantungan
    [2] Surya Chandra, anggota DPR Komisi IX, dalam Seminar masalah kependudukan di Indonesia di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia