Mengkaji optimalisasi
adalah pembahasan tentang tujuan ke arah yang lebih baik, demi pencapaian
optimum potensi Indonesia dalam industri keuangan syariah. Ada beberapa catatan
penting yang sesungguhnya Indonesia memiliki potensi lebih untuk
meng-optimalisasi industri keuangan syariah. Pertama, penduduk Indonesia dengan
mayoritas beragama Islam. Meskipun Industri keuangan syariah tidak dikhususkan
bagi muslim, tetapi umat muslim tetap menjadi pasar utama bisnis dan keuangan
syariah. Kedua, terkait bonus demografi[1]
(usia produktif) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen[2].
Peningkatan kelompok ini didominasi oleh umat muslim dengan behaviour yang beragam, yang membuat
bisnis dan keuangan syariah juga lebih beragam dan ketiga, memiliki sumber daya
alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Ditinjau dari
perkembangan industri keuangan syariah dalam cakupan perbankan termasuk dalam
kategori perkembangan yang sangat pesat jikalau berkaca pada 10 tahun terakhir.
Data OJK per Maret 2015, industri perbankan syariah terdiri atas 12 bank umum
syariah dengan 22 unit usaha syariah yang dimiliki bank umum konvensional. Kemudian
163 BPRS dengan total aset Rp 264,81 triliun dan pangsa pasar 4,88 persen.
Jumlah pelaku industri keuangan nonbank
syariah ada 98 lembaga di luar LKM; terdiri atas usaha jasa takaful (asuransi syariah) yang
mengelola aset senilai Rp 23,80 triliun, di samping usaha pembiayaan syariah
yang mengelola aset senilai Rp 19,63 triliun serta lembaga keuangan syariah
lainnya dengan aset Rp 12,86 triliun dan penghimpunan DPK perbankan syariah
adalah sebesar Rp207,121 triliun.
Pembahasan industri keuangan syariah tidak serta merta pada
cakupan perbankan syariah, namun ada banyak industri keuangan di Indonesia yang
berpotensi untuk dioptimalkan. Seperti Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yaitu asuransi
syariah (takaful), koperasi syariah
(BMT), dan Islamic microfinance,
reksadana syariah (unit trust),
lembaga pasar modal syariah dan juga surat hutang syariah (sukuk). Tetapi pertumbuhan industri
keuangan syariah di Indonesia masih berkutat di sektor perbankan. Adapun Potensi
lainnya adalah pengembangan keuangan syariah melalui instrumen sukuk. Hal itu terbukti Pemerintah telah
mengeluarkan sukuk beberapa tahun silam dengan nama Sukuk Ritel (SUKRI) RI, hasilnya cukup menggembirakan dan respon
pasar disambut hangat dengan memborong sukuk
ritel yang dijual 1 juta per lembar tersebut, kalangan pegawai termasuk PNS
bahkan ibu rumah tangga membeli sukuk tersebut melalui bank-bank syariah
sebagai agen penjual.
Terkait pencapaian optimalisasi keuangan syariah di Indonesia perlu
adanya regulasi yang memiliki perhatian khusus terkait pengoptimalan industri
keuangan syariah. Lahirnya OJK juga dapat dipandang sebagai suatu peluang bagi
sistem keuangan syariah untuk lebih dapat mengarahkan perkembangan industri keuangan
syariah (Best Regulator in Promoting
Islamic Finance). Peran OJK dan pelaku industri keuangan syariah dalam
menjawab tantangan keuangan syariah diperlukan langkah strategis sebagai
berikut: Pertama, OJK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat
regulasi, juga mensupervisi kegiatan sektor keuangan, harus mampu membangun
sinergi dan juga mengembangkan bisnis model yang mampu dilaksanakan di lapangan
oleh pelaku sektor keuangan syariah di Indonesia.
Kedua, Permasalahan klasik
yang kini masih dihadapi adalah tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Ekonomi
Islam itu sendiri. Kurangnya sosialisai dan edukasi kepada masyarakat merupakan
masalah klasik yang mendasar dan berpengaruh pada marketshare keuangan syariah, untuk itu perlu sosialisasi yang massif. Kita ketahui
bahwa keuangan syariah adalah hal yang baru di Indonesia, dalam konteks
keuangan modern saat ini, hanya sebagian kecil saja yang sudah memahami dan
menyadari keuangan syariah. Banyak masyarakat beranggapan bunga dan bagi hasil
sama saja atau sistem keuangan syariah sama dengan konvensional hanya ganti
istilah saja. Hal ini tidak boleh dipungkiri sebagai hambatan dalam pertumbuhan
bank syariah. Oleh karenanya, OJK dengan kekuatan dana yang ditopang oleh
anggaran Negara melalui APBN harus menjadikan agenda sosialisasi sebagai
program utama yang harus dijalankan. Sosialisasi bukan hanya di kampus atau di
kota besar, tetapi juga harus dilakukan sampai kepada kalangan pegawai, buruh,
tani, higga ke pelosok desa. JIka ini dilakukan secara efektif bisa dipastikan
kesadaran masyarakat untuk bertransaksi sesuai syariah akan mendorong
optimalisasi industri keuangan syariah di Indonesia.
Ketiga, Membangun infrastruktur pendukung bagi kegiatan supervisi lintas
sektoral. Peran OJK dalam membangun sistem pengawasan yang baik akan membantu
membangun kepercayaan masyarakat pada sistem keuangan Indonesia, khususnya di
industri keuangan syariah. Maka, kejadian buruk yang merugikan citra keuangan
syariah, seperti investasi bodong berlabel syariah tidak akan terjadi lagi atau
minimal berkurang bobot kualitas kejahatannya. Kejadian positif dari keuangan
syariah secara tidak langsung akan mendorong masyarakat yang belum menggunakan
jasa keuangan syariah menjadi tertarik dan ikut mencoba jasa keuangan syariah.
Keempat, Mendorong kebijakan peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber Daya
Insani. Permasalahan jasa keuangan syariah selama ini masih banyak diisi oleh
para pelaku dari industri keuangan konvensional yang kebanyakan tidak memahami
dan menguasai secara baik sistem keuangan syariah. Hal ini berdampak kepada
kinerja SDI yang tidak mumpuni dan menimbulkan masyarakat kurang percaya
terhadap industri keuangan syariah.
Kelima, inovasi dalam pengembangan produk industri keuangan syariah,
perlu adanya produk yang lebih inovatif untuk menunjang masyarakat agar tertarik
dengan industri keuangan syariah, baik yang berkaitan dengan microfinance, Surat utang syariah maupun
pasar modal syariah.
[1]
Rasio
ketergantungan
[2]
Surya
Chandra, anggota DPR Komisi IX, dalam Seminar masalah kependudukan di Indonesia
di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia